Yogyakarta, Sonora.ID - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengadakan acara “OJK Goes to Yogyakarta” yang diselenggarakan bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada tanggal 28 Juli 2022.
Acara tersebut bertema “Pinjaman Online: Manfaat dan Risiko bagi Masyarakat.”
Kegiatan tersebut diikuti oleh 290 peserta dari kalangan pelaku UMKM, mahasiswa, dan masyarakat umum di Yogyakarta.
Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk memperkenalkan industri fintech peer-to peer (P2P) lending atau fintech lending (pinjaman online) sebagai alternatif pendanaan bagi masyarakat, termasuk memberikan pemahaman pada manfaat dan risikonya.
Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mengedukasi masyarakat bagaimana memanfaatkan industri fintech lending secara bijak dan tidak terjebak oleh penyelenggara pinjaman online ilegal.
Baca Juga: Prewedding Unik Vaksinasi Booster & Citayam Ala Giwangan Street
Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan DI Yogyakarta Parjiman dan juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Prof. Dr. Sumaryanto, M. Kes., AIFO.
Ada tiga narasumber dalam kegiatan tersebut, yakni Tris Yulianta (Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK), Dr. Ratna Candra Sari, M.Si, CA, CFP, IFP (Dosen Universitas Negeri Yogyakarta), Wiwit Puspasari (Wakil Ketua I Satgas Waspada Investasi), dan Sunu Widyatmoko (Sekretaris Jenderal AFPI).
Dalam sambutannya, Parjiman menyatakan, “Terdapat gap antara tingkat literasi dan inklusi keuangan. Ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang menggunakan jasa keuangan namun belum begitu paham terhadap produk/jasa yang digunakan tersebut.”
Lebih lanjut Parjiman menyatakan bahwa persentase penduduk miskin di DI Yogyakarta berdaasarkan data BPS cukup tinggi, yakni 11,34% dengan tingkat ketimpangan/indeks Gini 0,439.
“Sosialisasi dan edukasi keuangan termasuk literasi terkait keuangan digital di Yogyakarta harus terus kita genjot,” kata Parjiman.
Sementara itu Tris Yulianta menjelaskan mengenai karakteristik fintech lending legal/ berizin di OJK, baik yang konvensional maupun yang berbasis syariah.
Tris memaparkan model-model pendanaan kepada sektor pengusaha mikro perempuan, sektor pertanian dan perikanan, sektor pendidikan, sektor komersil, dan sektor properti.
“Fintech lending juga dapat menjadi alternatif pendanaan. Ketika kita memiliki dana lebih, selain ditempatkan pada tabungan dan deposito, bisa juga melalui fintech lending”, ujarnya.
Tris juga mengingatkan terkait dengan akses data pribadi dari handphone.
“Sangat penting untuk dipahami bahwa platform fintech lending yang legal memiliki keterbatasan dalam meminta akses dari handphone pengguna, yang terbatas hanya pada kamera, mikrofon, dan lokasi,” tambah Tris.
Selanjutnya, Dosen FE Universitas Negeri Yogyakarta Ratna Candra Dewi menyampaikan secara detail dalam pemaparannya mengenai peran fintech lending untuk memajukan UMKM Yogyakarta.
“Mayoritas UMKM di Yogyakarta yang merupakan usaha mikro, namun akses pendanaan bagi usaha kecil sangat terbatas. Sharing ekonomi menjadi solusi yang dapat mempertemukan antara yang tidak memiliki sumber daya dengan yang membutuhkan sumber daya,” kata Ratna.
Wakil Ketua 1 Satgas Waspada Investasi Wiwit Puspasari menyampaikan secara detail dalam pemaparannya mengenai ciri-ciri pinjaman online (pinjol) ilegal antara lain faktor penyebab maraknya pinjol ilegal dan upaya yang telah dilakukan SWI untuk mencegah dan menangani masalah pinjol ilegal.
“Penyebab masih maraknya pinjol ilegal perlu dilihat dari dua aspek. Yang pertama dari aspek pelakunya sendiri, yaitu pinjol ilegal. Yang kedua dari aspek masyarakat, yaitu adanya kebutuhan hidup, terutama di masa pandemi seperti ini, serta minimnya literasi atau pemahaman terkait dengan pinjol ilegal,” kata Wiwit.
Pada sesi pemaparan terakhir, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko memberikan gambaran terkait proses credit scoring fintech lending.
Sunu menyampaikan mengenai peran AFPI dalam industri fintech lending dan komitmen AFPI dalam meningkatkan pemerataan penetrasi fintech lending.
“Literasi dan edukasi adalah kunci dalam kegiatan pinjam-meminjam. Artinya yaitu pentingnya pemahaman terkait hak dan kewajiban yang dimiliki peminjam. Dengan adanya edukasi dalam konteks proses credit scoring, kami ingin membangun kredibiltas dan bank ability dari calon peminjam,” tambah Sunu.
Sampai dengan 30 Juni 2022, jumlah penyelenggara fintech lending sebanyak 102 perusahaan dengan 7 perusahaan di antaranya menjalankan bisnis berdasarkan prinsip syariah.
Berdasarkan data OJK per bulan Juni 2022, akumulasi penyaluran pinjaman fintech lending telah mencapai Rp400,42 triliun.
Sementara itu, akumulasi jumlah rekening penerima pinjaman nasional sebanyak 85,19 juta dan akumulasi jumlah rekening pemberi pinjaman sebanyak 902,71 ribu.
Baca Juga: Tongam L Tobing : Ada Banyak Praktek Pinjol Ilegal yang Muncul di Tengah Masyarakat
Data di Provinsi DI Yogyakarta menunjukkan bahwa pertumbuhan penyaluran pinjaman fintech lending cukup baik di tahun 2022.
Penyaluran pinjaman di Yogyakarta hingga bulan Juni 2022 tercatat sebesar Rp4.578,54 miliar. Jumlah ini telah meningkat sebesar 89,58% dibandingkan dengan Juni 2021.
Sementara itu, penggunaan fintech lending oleh masyarakat Yogyakarta dapat dilihat dari jumlah akumulasi rekening peminjam dan pemberi pinjaman.
Jumlah akumulasi rekening penerima pinjaman di Yogyakarta sampai bulan Juni 2022, secara total bertambah sebanyak 165.149 entitas menjadi 860.431 entitas atau meningkat 23,75% Ytd.
Sedangkan akumulasi rekening pemberi pinjaman, secara total bertambah sebanyak 992 entitas menjadi 16.282 entitas atau meningkat 6,49% Ytd.
Dengan melihat potensi pengembangan UMKM, pertumbuhan fintech lending di Yogyakarta dapat lebih dioptimalkan lagi di masa yang akan datang.