Sonora.ID – Pada 21 Oktober 2024, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Kabinet Merah Putih, Abdul Mu’ti, resmi dilantik oleh Presiden di Istana Negara.
Pelantikan ini menandai awal dari masa kerja baru yang diharapkan mampu membawa perubahan signifikan di dunia pendidikan.
Wacana dimunculkannya kebijakan dalam dunia pendidikan yang baru, terutama yang melibatkan rencana pengkajian ulang kurikulum merdeka, zonasi, dan wajib belajar 13 tahun, menjadi sorotan publik.
Namun, bagaimana efektivitas dan tantangan dari kebijakan-kebijakan ini di tingkat sekolah? Survey ini menggabungkan perspektif dari masing-masing perwakilan guru di pendidikan dasar dan menengah yaitu Ulfa Zain, S.Pd., yang merupakan guru SD, Zahratul Ilmiyah, S. Pd sebagai guru SMP, dan Luluk Khusniah, S.Pd sebagai guru SMA, yang melihat langsung dampak dari kebijakan-kebijakan pendidikan di lapangan selama 5 tahun terakhir.
Kurikulum Merdeka, Antara Peluang dan Kesiapan Lapangan
Kurikulum Merdeka, yang diperkenalkan sebagai upaya memajukan pendidikan dengan pendekatan yang lebih fleksibel, menuai beragam tanggapan, khususnya pada kurang meratanya teknologi di daerah-daerah terpencil.
Luluk Khusniah, guru MAN Kota Batu, mengapresiasi visi besar di balik kurikulum ini, tetapi mengungkapkan kendala dalam pelaksanaannya terutama pada tingkat SMA. "(Ada) Sekolah-sekolahan yang tidak menerapkan kurikulum itu sendiri karena kurang siap baik dari sarana maupun tenaga pendidik," ungkapnya. Pelaksanaan yang membutuhkan pemanfaatan teknologi canggih belum dapat merata di semua wilayah, terutama daerah terpencil.
Zahratul Ilmiyah, guru SMPN 17 Kota Malang, juga setuju bahwa Kurikulum Merdeka perlu evaluasi menyeluruh. Dalam pandangannya, tantangan terbesar ada pada kesiapan sumber daya manusia dan fasilitas yang belum memadai. Ini menimbulkan kesenjangan antara sekolah di perkotaan dan di pedalaman, membuat Kurikulum Merdeka belum dapat berjalan optimal. “Banyak tenaga pendidik yang masih perlu penyesuaian dengan metode baru dalam kurikulum ini. Teknologi yang diperlukan pun belum merata di setiap sekolah,” jelasnya.
Selain itu, pada pendidikan dasar, Ulfa selaku guru SD di Lamongan menilai bahwa Kurikulum merdeka kurang efektif untuk diterapkan, “Kurikulum Merdeka perlu diperhatikan bahwa (Kurikulum Merdeka) ini tidak hanya tentang memberikan kebebasan belajar, tetapi juga mengupayakan untuk memastikan bahwa pendidikan tetap memenuhi standar yang tinggi.” tambahnya dengan memberikan penjelasan bahwa kurikulum ini masih perlu adanya evaluasi dan peningkatan secara berkala.
Zonasi Sekolah, Pemerataan atau Pembatasan Kesempatan?
Kebijakan zonasi bertujuan memberikan pemerataan akses pendidikan dengan menghilangkan konsep sekolah favorit, tetapi menuai berbagai pendapat mengenai efektivitasnya.
Luluk berpendapat bahwa zonasi malah mengurangi daya saing antarsiswa. “Dengan zonasi, siswa cenderung diterima di sekolah terdekat tanpa mempertimbangkan nilai akademis. Hal ini berdampak pada motivasi siswa dalam meraih sekolah yang lebih baik,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa hal ini juga dapat menurunkan kualitas sekolah yang sebelumnya menjadi favorit.
Zahratul Ilmiyah setuju bahwa zonasi memiliki kelemahan. Meskipun kebijakan ini bertujuan meningkatkan pemerataan, ia menyarankan adanya kebijakan pendukung yang memastikan kualitas pendidikan tetap terjaga di setiap sekolah. "Pemerintah perlu melakukan evaluasi lebih lanjut terhadap zonasi ini untuk mengatasi masalah di sekolah yang mengalami penurunan kualitas,” jelasnya.
Wajib Belajar 13 Tahun: Persiapan yang Memadai untuk Generasi Muda
Rencana wajib belajar 13 tahun, termasuk pendidikan prasekolah, dinilai sebagai langkah maju dalam mempersiapkan anak-anak untuk jenjang pendidikan dasar.
Zahratul Ilmiyah berpendapat bahwa kesiapan TK dalam melaksanakan program wajib belajar 13 tahun ini perlu didukung secara menyeluruh. “Masih banyak TK yang hanya fokus pada bermain. Kurikulum harus lebih diarahkan untuk persiapan masuk SD,” ujarnya, sambil menekankan bahwa fasilitas di TK perlu ditingkatkan untuk mendukung keberhasilan program ini. Selain itu, Zahratul juga menambahkan bahwa pendidikan pra sekolah sangat penting untuk mengembangkan pendidikan karakter pada murid, karena hal tersebut merupakan hal yang paling krusial sebelum memasuki pendidikan akademis.
Ulfa selaku guru SD menyambut positif wacana wajib belajar 13 tahun, mengingat bahwasannya wajib belajar 13 tahun akan berpengaruh pada kualitas siswa di tingkat SD, “Masa prasekolah Itu masa emas. Jadi dari anak-anak dari usia dini, (pendidikan) itu perlu dan pemerintah itu perlu meningkatkan lagi kualitas pendidikan gurunya, pendidikan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), perguruan tingginya juga, agar kualitas guru yang dihasilkan lebih baik lagi. Terus alokasi anggarannya perlu ditambah untuk paud (dan TK) itu.” ujarnya.
Baca Juga: Program Schoolphoria: Goes to School Kembali Digelar di MAN 2 Kota Malang
Ujian Nasional dan Pengembalian Sistem Penilaian
Wacana pengembalian Ujian Nasional (UN) sebagai alat ukur kompetensi siswa juga menuai dukungan dari para guru, meski dengan beberapa catatan.
Luluk setuju bahwa Ujian Nasional dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat. "Dengan adanya ujian, siswa merasa perlu belajar lebih baik. Sekarang, tanpa ujian, motivasi siswa agak menurun," ujarnya. Menurutnya, ujian ini bisa jadi parameter untuk melihat kesiapan siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Pada tingkat SMP, Zahratul juga mendukung pengembalian Ujian Nasional sebagai tolok ukur akademik siswa, terutama untuk melihat kualitas pendidikan di setiap sekolah. "Tanpa ujian, banyak siswa yang kurang serius. Ujian penting agar siswa berusaha mencapai nilai maksimal,” jelasnya, sambil menekankan bahwa ujian tidak harus menjadi penentu kelulusan, melainkan sarana evaluasi dan salah satu poin akumulasi kelulusan.
Ulfa juga menyetujui apabila Ujian Nasional akan dikembalikan lagi dan menilai bahwa Ujian Nasional masih relevan untuk diselenggarakan, “Agar anak-anak itu lebih giat lagi belajarnya, usahanya itu lebih ditingkatkan lagi. Karena saya lihat sejak UN itu dihapus, itu anak-anak terlalu menyepelekan, usahanya itu kurang. Kalau relevan atau tidak ya menurut saya relevan. Karena ujian nasional juga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak.” tambahnya.
Baca Juga: Disdik dan DPPKB Kab. Malang Adakan SSK sebagai Terobosan Pencegahan Pernikahan Dini
Harapan Dari Para Guru Pada Mendikdasmen Kedepannya
Menghadapi kebijakan Mendikdasmen yang akan dirumuskan dalam lima tahun ke depan, para guru memiliki harapan besar. Mereka menyampaikan harapan yang mendalam terkait berbagai tantangan dalam dunia pendidikan. Salah satunya menyoroti kekhawatiran terkait konsekuensi hukum dalam menegur siswa, " Kadang kami terkendala karena dengan adanya yang berlaku seperti misalnya Hak Asasi Manusia (HAM) itu ya. Jadi kan kita gak boleh melakukan (menegur siswa), ya memang bagus budaya disiplin positif, ramah anak, kami pun berusaha seperti itu. Tetapi dalam hal tertentu kami juga ingin memberikan mereka itu kedisiplinan dengan cara yang lain, tetapi tidak sampai melanggar asasi manusia yang segitunya itu sih mas. Jadi berikan kami kebebasan juga. Tidak terpantau dengan pembatasan dari Undang-Undang HAM ataupun Undang-Undang Informasi dan Teknologi (ITE).” ujar Zahratul.
Ulfa juga menambahkan terkait tantangannya dalam mendidik saat ini, “ Saya juga tidak suka ketika ada guru mendisiplinkan siswanya, sekarang kan dikit-dikit dipolisikan itu saya tidak suka. Bahkan ada kalimat saat ini di kurikulum Merdeka ini, waktu saya ikut diklat itu pematerinya bilang guru itu sekarang menghamba ke muridnya, itu saya tidak setuju.” ujarnya.
Selain itu harapan terkait pendidikan karakter pada siswa perlu untuk lebih diterapkan di pendidikan dasar yang mengarah pada pemanfaatan teknologi pada anak di bawah umur supaya tidak memunculkan akibat negatif.
Zahratul juga menyampaikan perlu adanya peningkatan kompetensi guru dan pengurangan tugas administrasi sekolah yang dinilai membuat guru tidak fokus pada tugasnya, “Bagi kami guru istilahnya (diharapkan) tidak memberikan banyak tugas administrasi yang lain. Jadi kami bisa fokus untuk ke proses pembelajaran di kelas dan peningkatan kompetensi dari guru yang ini memang sudah mulai dengan adanya pelatihan-pelatihan yang diikuti Bapak-Ibu guru, baik melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM) ataupun apa. Itu memfasilitasi bagi kami untuk peningkatan kompetensi, dan ini penting tetap harus dilaksanakan. Jadi kan Bapak-Ibu guru juga harus nyaman. Artinya nyaman di sini tidak banyak tugas tanggung jawab yang diberikan. Terutama administrasi kependidikan atau mungkin hal-hal lain. Biarkan kami juga fokus di peserta didik agar kami juga bisa maksimal di dalam proses pembelajaran.”
Secara keseluruhan, evaluasi dan penyesuaian terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia sangat penting dilakukan untuk mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas pendidikan di seluruh wilayah. Terlebih ketika saat ini terdapat Mendikdasmen yang berfokus dalam kebijakan di pendidikan menengah dan mendasar. Sehingga, diharapkan dapat lebih memperhatikan masalah-masalah yang sebelumnya terlewat, terutama pada kesejahteraan guru yang turut menjadi poin utama dan diharapkan dapat ditingkatkan pada lima tahun ke depan.
Penulis: Akhmad Ibra Syahrial Maula